Koperasi Merah Putih Dan Problem Kelembagaan Desa

$rows[judul]
Keterangan Gambar : Emi Hidayati

Oleh: Dr. Emi Hidayati

Dosen Fakultas Dakwah, UNIIB Banyuwangi

Presiden Prabowo dalam pidato awal pemerintahannya menggulirkan gagasan besar, melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2025, menetapkan program strategis nasional bertajuk “Koperasi Desa Merah Putih” (Kopdes Merah Putih) sebagai tulang punggung baru dalam upaya memperkuat perekonomian desa.

Baca Juga :

Program ini dirancang untuk menumbuhkan koperasi di seluruh wilayah perdesaan dengan semangat gotong royong, kemandirian, dan kedaulatan ekonomi lokal. Sebagai bentuk implementasi lanjutan, Kementerian Koperasi dan UKM mengeluarkan Surat Edaran Nomor 1 Tahun 2025 yang memberikan pedoman teknis mengenai pembentukan struktur, mekanisme usaha, serta sistem pengawasan koperasi di tingkat desa. Kebijakan ini menyiratkan harapan besar agar koperasi desa mampu menjadi simpul distribusi produk lokal dan penggerak utama ekonomi berbasis masyarakat.

Di balik desain kebijakan pembangunan yang tampak terstruktur dan partisipatif, pelaksanaan di tingkat desa justru mengungkap realitas yang kontras: ketergantungan pada arahan pemerintah daerah masih tinggi, menandakan lemahnya kapasitas kelembagaan dan otonomi pengambilan keputusan di tingkat lokal.

Ini memperlihatkan kembali persoalan klasik birokrasi pembangunan, yakni ketika instruksi top-down dari pusat tidak menemukan pijakan yang kokoh dalam konteks sosial desa yang kompleks dan beragam. Sejarah pun mencatat pola serupa dalam berbagai program kelembagaan desa, mulai dari KUD era Orde Baru, UED-SP dalam PNPM, hingga BUMDesa pasca UU Desa, yang meskipun ambisius dalam desain, sering kali stagnan dalam implementasi.

Semua inisiatif ini bertujuan mengelola potensi desa secara kolektif dan mendorong kemandirian ekonomi berbasis lokal, namun banyak yang hanya hidup sebagai formalitas administratif—minim inovasi, lemah dalam kepercayaan dan manajemen, serta gagal menumbuhkan fondasi kelembagaan yang responsif terhadap dinamika desa.

Pemikiran Elinor Ostrom dan William Lowry tentang institutional redundancy, menyoroti kecenderungan negara membentuk lembaga baru yang tumpang tindih dengan yang sudah ada—bukan karena institusi lama gagal, tetapi demi kepentingan politik, pencitraan, atau kebutuhan akan aksi simbolik. Dalam konteks ini,

Koperasi Merah Putih berisiko menjadi lembaga duplikatif terhadap BUMDesa yaitu keduanya didesain untuk fungsi serupa—mengelola aset, menyerap dana publik, dan mendorong ekonomi produktif desa. Akibatnya, bisa timbul fragmentasi kewenangan, persaingan peran, hingga kebingungan administratif di tingkat lokal. Ini menunjukkan adanya institutional incongruence, yakni ketidaksesuaian antara regulasi pusat dengan kapasitas pelaku lokal dalam menjalankannya.

Ketika pemerintah desa tidak diberi ruang mengambil inisiatif, maka lahirlah kelembagaan yang rapuh dan statis. Oleh karena itu, teori institutional fit dari Young dan Ostrom menjadi penting: kelembagaan yang kuat harus selaras dengan konteks sosial dan budaya lokal, serta disusun dengan partisipasi aktif warga. Tanpa itu, Koperasi Merah Putih berisiko menjadi struktur kelembagaan yang tidak dibutuhkan, tidak dimiliki, dan akhirnya tidak berjalan.

Karena itu, pendirian Koperasi Merah Putih perlu disikapi secara kritis: apakah ia sungguh mencerminkan transformasi kelembagaan yang sejati, atau hanya menjadi proyek simbolik yang dibungkus semangat nasionalisme semu? Bila ingin membangun koperasi rakyat yang sejati, maka rakyat harus diberi peran sebagai perancang utama—diberi ruang untuk berdiskusi, merumuskan, dan mengambil keputusan secara partisipatif, bukan sekadar menerima instruksi administratif satu arah.

Negara semestinya berperan sebagai fasilitator, bukan pengendali, dengan memberi kepercayaan kepada desa untuk menyusun kelembagaan yang sesuai dengan dinamika sosialnya. Gagasan besar Presiden untuk menghidupkan kembali semangat koperasi rakyat melalui Inpres 8 Tahun 2025 patut diapresiasi sebagai langkah strategis menuju kedaulatan ekonomi lokal.

Namun, agar tidak sekadar menjadi agenda simbolik, pendekatannya harus membumi dan mengakar. Kegagalan kita selama ini bukan pada visinya, melainkan pada pendekatannya yang menutup ruang musyawarah lokal; desa terus diposisikan sebagai objek kebijakan, bukan subjek yang mampu melahirkan solusi dari bawah.

Padahal, koperasi bukan sekadar instrumen ekonomi, melainkan entitas sosial yang membutuhkan legitimasi dan keterlibatan aktif dari komunitas yang menjalankannya. Kita harus belajar dari masa lalu: koperasi yang dibentuk dari atas tanpa jiwa lokal akan kehilangan akar, rapuh, dan ditinggalkan. Kini saatnya mengubah cara pandang—rakyat bukan hanya penerima manfaat, melainkan penentu arah. Koperasi rakyat tidak cukup hanya diberi nama "Merah Putih", tetapi harus lahir dari proses sosial yang inklusif, deliberatif, dan benar-benar berakar di tengah masyarakat desa.