Demonstrasi Dan Refleksi Moral Partai Politik

$rows[judul]
Keterangan Gambar : Dr. Emi Hidayati M.Si

Dr. Emi Hidayati M.Si

Dosen Fak. Dakwah UNIIB

Gelombang refleksi yang mengguncang Indonesia sepanjang Agustus 2025 mencerminkan akumulasi kekecewaan rakyat terhadap kebijakan politik dan ekonomi pemerintah yang dinilai abai pada kondisi masyarakat. Kebijakan menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) hingga 1000 persen, bersamaan dengan keputusan menaikkan gaji anggota DPR RI, menjadi pemicu utama ledakan protes. Masyarakat melihat kebijakan ini sebagai simbol jurang ketidakadilan antara elite politik dan masyarakat. Aksi yang bermula di Pati pada 13 Agustus segera merembet ke berbagai kota, hingga puncaknya pada 28 Agustus di Jakarta. Demonstrasi berubah menjadi rentetan yang menelan jiwa korban, membakar fasilitas publik, dan menyingkap krisis kepercayaan rakyat terhadap lembaga-lembaga negara.

Baca Juga :

Fenomena ini tidak bisa dipahami sebagai luapan emosi spontan atau sekadar rekayasa pihak tertentu. Lebih dalam lagi, protes tersebut justru mengajukan pertanyaan mendasar, di mana peran partai politik? Gelombang kegelapan jalanan yang menembus arah kebijakan publik menampilkan disorientasi partai politik di Indonesia. Mereka gagal berfungsi sebagai penyalur aspirasi rakyat sekaligus refleksi kritis dalam demokrasi. Padahal secara normatif, Undang-Undang 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, yang kemudian diperbarui dengan UU No. 2 Tahun 2011, sudah menegaskan peran strategis partai: sarana pendidikan politik, iklim penciptaan demokrasi, artikulasi dan agregasi kepentingan rakyat, rekrutmen jabatan publik, serta wadah partisipasi pemilu. Dengan kerangka hukum tersebut, partai misi seharusnya tidak sekadar memenangkan kursi kekuasaan, tetapi membangun fondasi demokrasi melalui representasi dan pelayanan publik yang berkelanjutan.

Sejarah menunjukkan bahwa partai politik merupakan fenomena kekuasaan yang relatif baru. Ia berkembang pesat dalam seratus tahun terakhir, seiring runtuhnya monarki, berkembangnya ide-ide politik modern, dan pergeseran legitimasi dari agama menuju rakyat. Di Eropa Barat, partai muncul ketika kelas borjuis mulai menguasai parlemen, menggantikan dominasi kerajaan, seiring perubahan sistem produksi ekonomi (Tanilli, 2007). Hadirnya hak pilih universal menyadarkan massa pemilih akan kekuatan politiknya. Sejak saat itu, kekuasaan yang tadinya melekat pada segelintir elit mulai beralih ke arena partai politik (Weber; Tezic, 2004).

Pada dasarnya, partai lahir dari kebutuhan untuk mengartikulasikan kepentingan rakyat dalam wadah yang diselenggarakan. Namun dalam praktik di Indonesia, fungsi itu mengalami distorsi. Partai seolah-olah hanya menjadi mesin kekuasaan untuk mendistribusikan jabatan, sumber daya, dan keuntungan bagi elite, bukan lagi sarana memperjuangkan kepentingan masyarakat. Dalam perspektif sejarah, Daalder (2002) menegaskan partai politik lahir dari kebutuhan masyarakat memperkuat representasi, sementara Montero & Gunther (2002) mendorongnya untuk menjadi instrumen fundamental demokrasi modern yang menghubungkan negara dan masyarakat. Sayangnya, di Indonesia, fungsi itu tergerus logika transaksional antara oligarki, pengusaha besar, dan partai elit.

Kebijakan pajak dan kenaikan gaji DPR yang memicu penayangan kegagalan partai yang menjalankan representasi mandat. Mereka tampil layaknya “kelas penguasa baru” yang mencakup rakyat. Apa yang Tanilli sebut sebagai “konflik kelas” kini nyata: rakyat sebagai kelas bawah berhadapan dengan elit politik yang justru menggunakan legitimasi demokrasi untuk melanggengkan hak istimewa. Pertanyaan relevan pun muncul: apakah partai politik di Indonesia masih berfungsi sebagai instrumen demokrasi, atau sekadar kendaraan bagi segelintir elit untuk menguasai sumber daya politik?

Sejarah partai mengingatkan bahwa kekuatan rakyatlah yang melahirkan partai sebagai representasi. Namun kenyataannya hari ini menunjukkan rakyat sering hanya dijadikan legitimasi pemilu setiap lima tahun sekali, lalu dilupakan begitu saja ketika elite berkuasa. Hal ini sejalan dengan kritik Ostrogorski yang menilai partai cenderung terjebak dalam praktik oligarkis, lebih sibuk mempertahankan struktur internal daripada menyuarakan basis. Michels bahkan lebih tajam melalui “iron law of oligarchy”, bahwa setiap organisasi politik, meskipun pada awalnya demokratis, akan cenderung dikuasai segelintir elit. Fenomena demonstrasi bisa dibaca sebagai alarm demokrasi: rakyat mencari ruang alternatif menyuarakan kehendak yang tidak lagi tersalurkan melalui mekanisme partai formal.

Dalam perspektif Islam, konsep hizb memberi kerangka etis yang patut direnungkan. Al-Qur'an menyebut adanya Hizbutuh Allah (golongan Allah) dan Hizbut Syaitan (golongan syitan). Hizbullah dipahami sebagai kelompok yang menegakkan kebenaran, keadilan, dan kesetiaan kepada Allah, sedangkan Hizbut Syaitan mencerminkan kelompok yang ditegakkan dari nilai-nilai Ilahi, hanya mengejar jabatan dan kepentingan duniawi. Dalam sejarah awal Islam, kepemimpinan ditentukan melalui musyawarah terbatas dan baiat, bukan melalui partai. Perpecahan politik pasca perang Shiffin melahirkan kelompok seperti Khawarij dan Syiah, tetapi lebih tepat dipahami sebagai sekte teologis, bukan partai politik modern.

Hal ini Merujuk pada Pembagian moral-politik dalam Al-Qur'an (QS. Al-Mujādilah [58]: 19, 22) yang membedakan antara Hizb Allah (golongan Allah) dengan Hizb al-Syayāṭīn (golongan setan). Pemikiran ini juga ditegaskan oleh Al-Mawardi dalam al-Ahkām al-Sulthāniyyah bahwa legitimasi kekuasaan ditentukan oleh kemampuan menegakkan keadilan dan menghindari kezhaliman. Sementara Abu A'la al-Maududi dan Sayyid Qutb mengembangkan gagasan bahwa partai politik dalam Islam hanya sahih bila ia menjadi sarana tegaknya amar ma'ruf nahi munkar dan menjaga kesejahteraan umat. Dalam konteks kontemporer, Nurcholish Madjid menekankan pentingnya “moralitas publik” sebagai landasan bagi partai-partai di Indonesia agar tidak sekadar menjadi kendaraan perebutan kekuasaan, melainkan sarana perjuangan nilai kebenaran dan keadilan.

Refleksi atas fenomena Agustus 2025 menampilkan paradoks demokrasi kita. Secara regulatif, partai diharapkan menjadi penopang sistem politik dan penghubung antara negara dan masyarakat. Namun dalam kenyataannya, partai justru sering terjebak pada pragmatisme dan orientasi kekuasaan jangka pendek. Jika partai tidak kembali ke khittahnya—sebagai pengartikulasian aspirasi, penjaga integrasi, dan pelayan publik—maka demokrasi akan kehilangan ruhnya.

Demonstrasi besar-besaran itu adalah cermin mengecewakan, sekaligus peringatan keras bahwa rakyat tidak lagi percaya pada mekanisme politik formal. Jalan satu-satunya bagi partai politik untuk bertahan sebagai institusi demokrasi adalah dengan meneguhkan kembali fungsi normatifnya, baik dalam kerangka hukum nasional maupun dalam spirit etis Islam: menjadi Hizbutlah Allah, golongan yang beruntung karena berpihak pada rakyat dan menegakkan kebenaran.